Ruang Tunggu

Ruang tunggu bukan tempat yang asing bagiku. Sejak SMA, aku mengakrabi ruang tunggu Bandara Adisutjipto dan Sepinggan untuk bolak-balik pulkam tiap libur semester. Kalau untung, natal-paskah juga aku akan pulkam. Berarti, aku sudah 'kenal' dengan ruang tunggu hampir 8 tahun. Walaupun sudah selama itu, baru sekarang aku mengerti apa yang tersembunyi di dalam ruang tunggu.

Ruang tunggu menyimpan banyak misteri perasaan orang-orang yang duduk di dalamnya. Ya, kalau nggak dapet kursi, di lantainya lah. Di ruang tunggu banyak orang dengan banyak latar belakang; pebisnis, anak rantau, anak yang harus pulang karena orang tuanya meninggal, bahkan orang yang mendapat kabar gembira kalau saudara yang ia cari bertahun-tahun akhirnya ditemukan. Aku baru menyadari kemajemukan orang-orang yang menumpang transportasi umum ini, yang rela menunggu untuk dipindahkan dari tanah yang dipijaknya menuju tanah lain di tempat tujuannya.

Ruang tunggu bandara/stasiun/terminal/dermaga, bahkan yang lebih spesifik teras rumah untuk menunggu travel, bukan hanya ruang tunggu untuk menunggu angkutan. Ia dapat menjadi saksi bahwa perjuangan seseorang akan "dihidangkan". Ruang tunggu menyimpan kecemasan akan bentuk dan rasa perjuangan itu. Bilakah aku mampu memenangkan tender tahun ini? Mampukah aku memperbaiki nilai semester lalu? Aku harus apa ketika di kampung bertemu mantan pacar yang kuduakan dulu? Bagaimana kalau si Fulan menolakku, padahal aku sudah berdoa bertahun-tahun untuk menemukannya? Dan masih banyak lagi kegalauan, sampai pengumuman boarding terdengar seperti sangkakala Malaikat Izrail.

Tapi, tidak melulu juga. Ada sukacita anak rantau yang kembali ke rumah, rindu ayah dari perjalanan bisnis yang lelah akhirnya bertepuk, ada juga kabar sukacita bahwa seorang anak pulang ke rantau dengan warisan mendiang ayah yang melimpah.

Semua perjuangan, kesedihan, sukacita, kegalauan, disaksikan oleh ruang tunggu yang ramai walau sebenarnya bisu. Ruang tunggu. Mungkin frasa nomina itu sebenarnya sebuah eufemisme dari "Ruang Transit Emosi". Transit itulah kesabaran bahwa bila dari sini kau mapan, nanti di tempat tujuan harus mulai dari nol. Atau sebaliknya.

Kali ini aku kembali ke Jogja setelah berjuang mendapat pekerjaan di salah satu harian nasional. Aku tak bisa meramalkan aku pulang untuk pulang, atau pulang untuk menunggu.
Menunggu untuk duduk di ruang tunggu lagi, berbaur dengan emosi para penumpang yang diredam sebisa mungkin.


4/2/16
Stasiun Gubeng, dalam perjalanan menuju Stasiun Tugu.

Comments

Popular Posts