where's the good in goodbye?

Hey! It's been a long time without you my blog *halah
yah ini, lama gak nulis jadi kaku mau nulis apa. Kemaren-kemaren syibuk bets sama paper-paper ujian, bagi waktu ini-itu, pergi ke sana-ke sini, dan ya sekarang lebih suka buka Instagram. Syukur belom lupa punya blog ini. Dan syukur lagi Instagram belom bisa memenuhi hasrat yg jarang-jarang nongol buat nulis banyak. Kayak sekarang ini. Lagi ada keinginan aja nulis isi kepala & isi hati dari renunganku akhir-akhir ini.
Udah ah, langsung aja deh. Maaf banget nih lagi kaku nulis. Pengennya langsung cerita aja, pendahuluannya dikit aja. Lagian kalo baca pembahasannya lebih menarik kan? Wkwkwk
Setelah aku renung-renungkan, aku menyadari bahwa bulan Juli cukup kelabu. Beberapa orang yang aku harap lebih lama ada di pandangan mataku harus pergi. Harus ini, harus banget. Ada yang pergi karena perutusan, ada yang pergi untuk kehidupan yang lebih baik, ada juga yang pergi untuk selamanya.
Sebenernya aku gak asing sama perpisahan. Sejak lulus SMP aku hidup terpisah dari orang tua karena memilih lanjut SMA di Jogja & tinggal di asrama. Sekalipun bilang "Dadah! Ketemu lagi pas liburan ya!" udah berrrrrrrrkali-kali diucapin tiap di bandara, sekalipun udah mulai bisa gak mewek tiap pisah sama bapak-ibuk, perpisahan selalu menyelipkan kesedihan. Nggak ada orang yang bahagia menghadapi perpisahan. Bilang udah hilang cinta & bahagia udah berpisah bukan berarti gak ada lukanya. Pokoknya perpisahan selalu sepaket sama kesedihan. Tinggal gimana kita menghadapi kesedihan itu kan.

sumber: weheartit.com

1. Mas Paulus
Setelah bertahun-tahun tinggal jauh dari orang tuanya & jarang pulang, si burung memutuskan untuk kembali ke sarangnya. Yup, Mas Paul a.k.a my current bae kembali ke tanah ngapaknya untuk kerja.  Sama kayak aku, dia juga jadi anak asrama & melanjutkan SMA di luar kota. Dia udah menyelesaikan pendidikan jenjang sarjana. Like almost of every student after graduated, dia juga mikir kerja. Tapi syukur kepada Allah, dia gak perlu lama mencari karena almamaternya di Cilacap membutuhkan guru agama which fits his educational background as a theology student *angelic SFX*
Setelah dia bilang setuju, dia segera beres-beres barangnya di Jogja. Artinya, dia bakal ninggalin aku buat kerja. Aku seneng dia lebih beruntung dari aku dalam drama cari kerja, tapi sedih karena dia perginya cepet banget! Ya, dia harus persiapan macem-macem di rumahnya, kumpul lagi sama keluarganya, getting involved sama kegiatan di sana. Sedih sih, karena kami sering ketemu dan setelah ini akan jarang ketemu. Aku gak bisa nyuruh dia ke Jogja tiap minggu. Berat di ongkos coy! Akupun kalo mau main ke Cilacap kudu nginep di mana? Dia sih enak ada sodara di Jogja, tapi aku gak ada sodara buat numpang nginep di Cilacap :(
And yes, days without him is soooo hollow. Aku jadi mager banget. Keluar rumah palingan ngajak Bona (eh belom cerita ya aku punya kirix nakal namanya Bona? hahaha) pup sama pipis. Beberapa kali, saking magernya, aku go-food bahkan Olive yang cuma menggok 3 kali dari rumah! Iya iya, aku bisa ngajak temen makan di luar. Tapi kalo udah di rumah, bener-bener mager mau keluar. Pas sharing sama temen-temen di kampus, mereka juga ngerasa yang sama sih. Rasanya sangat maaaagggeeeerrrr setelah tutup pintu kos. Ya udah, berarti LDR kami cuma salah satu penyebab aku mager. Jangan salahin LDR-nya!!!!
Aku pengen dia di Jogja aja, cari kerja di Jogja. Tapi, kalo rezekinya tahun ini belom di Jogja, ya udah gapapa kami jauh dulu. Tahun lalu juga kami LDR pas aku dengan hati yang kacau balau kerja di Surabaya. Ya semoga tahun depan dia bisa balik ke Jogja...

2. Frater Diakon Romo Ocit
Bertahun-tahun jadi among tamu tahbisan (diakon & imamat) Yesuit, this ordination really makes me cry. Ehhh bukan nangis drama lho ya. Semacam mbrambangi (Jw 'mau nangis tapi ditahan, maksimal keluar setetes air mata'), terutama pas pengumuman perutusan.
Romo Ocit (bukan nama sesungguhnya, itu nama gara-gara peristiwa semantik Desember 2013 LOL) yang aku kenal sejak masih frater udah berjubah, udah fiiiixxxx bettt dan harus manut ke mana provinsial mengutusnya. Aku pernah menghadapi perpisahan yang yah cukup syedih pas lagi ngedong-ngedongnya bahwa Mas Romo bisa aku andalkan. Dia pergi jauuuuuh amat ke Amerika. Tapi, pas Romo Ocit ditugasin ke Ambarawa, kok lebih syedih daripada nganter Mas Romo ke bandara yak. Embuh ngapa.
Mungkin, mungkin aku berharap dia diutus studi juga ke Beirut apa ke Aleksandria apa ke Dar Es Salaam (lah negara Ziphora semua cit) sehingga masih ada waktu di Jogja. But then no. Setauku sih romo yang diutus di dalam negeri cepet capcus dan demikian juga Romo Ocit. Yah iya sih Jogja-Ambarawa deket. Ya oke lah, someday I'll visit him.
Baebae di tempat orang cit.

3. Viktor Aleksandrov
Noooo dia bukan orang Rusia. He's pure Javanese but I've mentioned his name on my earlier posts so this would be his "name". Aku gak suka nyebut nama orang secara saru, apalagi di blog. Jadi nama Viktor Aleksandrov aku pakai buat dia. Yaps, relevan dengan tulisanku yang dulu, he was my boyfriend. He's the one who filled my days during the second semester in bachelor degree. 
And now, I can only see his grave.
Aku gak pernah bisa berteman sama mantan pacar, begitu juga sama Viktor. Hubungan kami yang putus agak gak baik-baik, alasanku yang gak bener-bener jujur, dan macem-macem hal bikin aku gak akan nyaman temenan sama dia, walau dia woles banget. Dan suatu pagi, sehari habis aku ke misa perdana Romo Ocit, temenku ngasihtau kalo Viktor udah gak ada. Viktor kecelakaan pas mau ke Jogja malem sebelumnya.
We never greet each other cause we lived in a different town, tapi berita ini bener-bener bikin aku lemes. Hatiku mencelos. Yang aku mau cuma segera ke rumahnya. Aku ajak Mas Paulus layat dan dia berbesar hati mau nemenin. Pas itu bapak telepon dan aku bilang aku mau layat Viktor. Orang tuaku gak percaya, bahkan ibuk telepon lagi buat mastiin. Sepanjang jalan aku juga ngelamun doank. Semua kenangan sama Viktor muter di kepala cepet banget, secepat berakhirnya hubungan kami.
Aku & Mas Paulus dateng pas homili udah mau selesai. That's the very first time I visited his house dan banyak banget yang layat. You're so loved, Viktor. 
Misa selesai dan aku ngantre mau lihat dia sebelum peti ditutup. Aku cuma bisa berdoa dan kuat-kuatin hati bahwa Viktor udah gak ada. Semakin deket sama peti, semakin aku bisa lihat wajahnya. Aku sangat bersyukur wajahnya utuh, bahkan aku gak pernah liat dia secakep itu. Seenggaknya ada kenangan yang bisa aku inget untuk kali terakhir. Aku gak bisa ngomong apa-apa. Bikin tanda salib pun gemeter. I guess this is my second heartbreak after Pakde Romo's death.
Saat itu aku cuma bisa inget dia sebagai seseorang yang sangat dicintai banyak orang. Habis beberapa detik speechless, aku bilang dalam hati, "Bang, banyak orang doain kamu. Sampai Rumah Bapa dengan selamat ya." terus aku pegang tangannya bener-bener untuk kali terakhir, dan berlalu nyalamin bapak-ibunya. Aku lihat tunangannya dan aku lihat diriku lima tahun lalu di Kapel Paulus pas misa arwah Pakde Romo: a mixture of deep sadness and denial. Kamu bisa, Mbak! Be strong for Viktor!
Sepulang dari rumah Viktor, aku lewat warung tempat kami dulu pernah jajan es. Sejujurnya semua jalan yang pernah kami lewati gak meninggalkan kenangan buruk. Kami gak pernah berantem, tapi kami putus karena hidup kami saat itu belom tertata. Ya, saat itu aku ngerasa kami bersatu di saat yang tepat karena udah sama-sama jomblo. Tapi ternyata, waktuku tidak sama seperti waktu-Nya.
Dan tahukah kamu (ya gak tau lah wong belom critak), pas aku & temen-temen otw ke misa perdana Romo Ocit, di tengah jalan secara anehnya temen-temen & Mas Paulus lihat jenazah dimandiin di pinggir jalan. Mereka heboh, sedangkan aku cengok karena gak lihat. I guess my soul denied the nature's sign that I'll loss someone the day after.
Beberapa minggu setelah Viktor meninggal, aku ngurus visa ke Surabaya. Pulang dari jalan-jalan, aku nyetel TV dan dengan ajaibnya, TV lagi nayangin video klip band Firehouse yang lagi nyanyi lagu I Live My Life For You. Itu lagu kesukaan Viktor. Dulu dia pernah nyuruh aku denger lagu itu dan aku langsung ngibrit ke warnet cuma buat denger (duluuuuu aku belom langganan wifi kos). Aku pikir, Viktor pengen dikunjungi. Dan beberapa hari sebelom aku bertolak ke Leiden, aku & Mas Paulus barengan ke makamnya. Kami hampir keblasuk dan aku segera turun tanya ke tetangganya di mana makamnya Viktor. You know what, begitu aku balik masuk mobil, itu radio lagi muter lagunya Avenged Sevenfold yang Dear God. Itu juga lagu favoritnya dia. Aku bilang ke Mas Paulus dan dia merinding di tempat. "Kita udah direstui sampe sini," dia bilang gitu.
Beberapa hari di negara orang, aku teringat sesuatu tentang Viktor. Dia pernah punya keinginan kuliah di Jerman. Dan aku dengan sok-sokannya dulu bilang ke dia, "Ya udah yuk kamu ke Jerman. Nanti aku susul, tapi aku ke Leiden. 'kan deket ya Jerman sama Belanda."
Ya Tuhan. Viktor...
Viktor, please smile from Above. Thanks for your short visits. Indeed Europe has a lot of beautiful cities, but the place where you belong now is muuuch more beautiful than anywhere else in this world. Until we meet again, Viktor. 

 Kesimpulan? There's no good in 'goodbye'. No matter how you hate the person, sadness is always entails the separation. Maybe not directly from the person. Maybe from the surrounding moments or chances you've lost due to it. 

Leiderdorp, NL
2 hari sebelum winter

Comments

Popular Posts