Forget Me Not

Ini bukan tulisan tentang perpisahan seperti yang aku tulis tahun lalu. Dan sejak aku "meninggalkan" dunia sastra karena lebih suka linguistik, bahasa yang berbunga-bunga juga aku minimalkan. Lebih tepatnya udah gak luwes kalo merangkai kalimat unyu-unyu kayak di novel :p maafkan yha :v

Kemarin, tanggal 4 November 2018, aku memutuskan untuk menjejakkan langkahku lagi di suatu tempat yang sekitar 3 hingga 4 tahun lalu sangat sering aku sambangi. Tempat yang dulu ku jadikan tempat penelitian skripsi, di mana di bulan yang sama 4 tahun lalu, aku tinggal di sana selama dua minggu untuk memahami pemetaan bagaimana seperangkat istilah dalam bidang tertentu digunakan. Sebuah komunitas yang terletak di seberang Panties Pizza cabang Jakal, tempat menggodok cowok-cowok yang mantap mau menjadi pastor (katanya, aminin aja).
 
Aku bilang "menjejakkan langkah lagi" berarti ada implikasi bahwa aku sempat tidak pergi ke sana untuk beberapa waktu. Ya, memang demikian. Sebenarnya, Januari tahun ini aku pergi ke sana untuk hadir di tahbisan diakon beberapa teman dan kenalan frater. Tapi tanggal 4 kemarin, aku kembali masuk dan duduk di dalam Kapel Paulus setelah sekian lama (naaah udah tau kan tempatnya? Wkwkwk). Kemarin aku menghadiri misa untuk mendoakan arwah romo-romo yang dikubur di kompleks makam seminari. Karena pakdeku yang sangat aku kasihi dikubur di sana, jadi hampir setiap tahun aku mengikuti misa yang harinya berdekatan pas hari arwah semua orang beriman (2 November). Hampir tiap tahun? Ya. Pakdeku meninggal Mei 2012, jadi November 2012 adalah kali pertama aku menghadiri misa itu. 2013 dan 2014 aku masih hadir, dan pada 2014 beberapa hari setelahnya aku live in di seminari. Mulai 2015 hingga 2017 aku tidak hadir. 2015 karena aku harus tes TOEFL, 2016 karena prahara (wkwkwk drama basi koplo darkness), dan 2017 karena aku sedang ada di Belanda. Jadi, tahun ini adalah kali pertama setelah tiga kali aku kelewatan dan melewatkan misa itu dengan segala yang terjadi setelahnya (baca: makan siang di Pendopo Willekens, the moment when you can have chit-chat with the seminarians and some priests).

Aku nggak mau menulis tentang prahara yang terjadi sehingga beberapa tahun lalu aku memutuskan untuk jadi nihilis di seminari. Karena 1) drama, 2) basi, 3) gak penting. Intinya pas itu aku lagi dibutakan sama kebencian yang didukung sama cowok yang pas itu jadi pacarku. Kecuali pas 2017, aku bener-bener gak bisa hadir karena lagi di luar negeri. Tahun 2017 di Belanda aku mulai mikir ulang dan kalo emang bisa, aku mau dateng. Tapi sayangnya gak bisa.

Berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya (maksudnya 2012-2014), aku nggak menyiapkan baju untuk datang ke misa itu. Padahal dulu aku bisa aja beli tops hanya untuk dipakai ke misa arwah. Misa dimulai jam 10 dan kemarin aku baru mandi sekitar jam 9.05. Gelora yang dulu aku rasakan pas mau berangkat pun rasanya tidak ada. Semua terjadi begitu aja, sampai akhirnya aku memarkirkan motorku.
Aku masuk lewat pintu samping dan disambut beberapa frater yang aku nggak kenal siapa. Mungkin mereka masuk seminari pas aku mulai nggak bisa dan nggak memutuskan hadir di acara-acara seminari. Kapel Paulus sudah cukup penuh, tapi aku dapat tempat duduk di dekat saudaraku.
Ketika aku duduk, aku memandang kapel ini dengan perasaan yang .... hampa. Tapi aku cukup senang bahwa spanduk bertuliskan "Jujur, Disiplin, Gaul" yang dipasang di sisi kiri kapel sudah tidak ada. Mungkin prefek disiplinnya juga sudah ganti.
Dulu aku punya bara dalam hati seperti bara Paulus ketika memandangi interior kapel tempat pakdeku ditahbiskan dan akhirnya dilepaskan untuk dikuburkan ini. Para frater berlalu-lalang. Aku mau tidak mau memandangi mereka. Tapi sudah tidak ada rasa tertarik untuk sekadar ingin tahu namanya. Memandangi frater dengan jubah putihnya yang menjuntai dan berkibar-kibar seiring langkah kaki mereka tidak lagi membuatku tersenyum. Hari itu cuaca cerah, tapi aku merasa Kapel Paulus tidak kedapatan cahaya yang cukup. Dan rasanya tempat itu sumpek. Padahal saudaraku bilang tahun ini lebih sepi. Misa berlalu begitu saja, bahkan di bagian asperges me aku cuma kedapatan satu titik percikan air suci di kelingking kanan.
Dulu aku memlesetkan cerita dari Injil Lukas yang berbunyi, "Sekembalinya dari Emaus hati para murid berkobar-kobar" menjadi "Sekembalinya dari Kentungan, hatiku berkobar-kobar". Tapi kemarin kobaran itu tidak lagi terasa. Aku malah pengen tidur aja sampe di rumah.
Lucu. Mungkin ini rasanya balikan sama mantan. Ada rasa cinta, tapi ketika dijalani rada hampa.

Rasa-rasanya salah satu prinsip ekonomi tentang tingkat keinginan bisa diaplikasikan dalam kehidupan sosial juga. Setidaknya satu kali dalam hidup manusia, ia gandrung pada sesuatu yang dia sukai dan affordable. Setiap hari, tingkat keinginannya pada sesuatu itu terus meningkat. Dan karena daya belinya terhadap sesuatu itu tinggi, setiap keinginan itu datang pasti dituruti. Begitu terus sampai tingkat keinginan itu ada di puncaknya. Dan setelah di puncak, pelan-pelan tingkat keinginan itu menurun, menurun, hingga akhirnya tidak ada lagi. Demikian juga yang terjadi padaku. Aku memiliki keinginan untuk terus hadir di acara-acara seminari, berinteraksi dengan romo staf serta frater, hingga memuncak pada penelitian skripsi. Mungkin bukan itu puncaknya karena setelah penelitian aku justru semakin sering ke seminari. Tapi, setelah berbagai macam hal terjadi, keinginan itu mulai menurun dan menurun hingga hari ini aku mendapati keinginan itu sudah absolute zero. Tidak ada lagi excitement untuk melakukan hal-hal yang dulu aku inginkan dan lakukan. Dan gosip-gosip yang aku dengar tentang mereka sudah tidak menarik.

Walau rasanya udah anyep, tempat ini dan kejadian-kejadian yang perah terjadi di dalamnya tidak bisa aku tinggalkan begitu saja. Kadang aku kepo akun Instagram seminari supaya tau kalau mereka mengadakan event atau lomba. Bahkan karena hingga hari Rabu aku nggak dapet undangan misa arwah seperti tahun-tahun sebelumnya, aku berinisiatif untuk bertanya apa ada misa arwah tahun ini. Ketika aku melewati lorong luar unit, aku masih bisa ingat saat aku melewatinya di malam minggu yang sepi saat aku live in di sana. Aku masih ingat di mana refter, nama-nama unit, lagu yang dinyanyikan para frater setelah makan malam, kapan saja hari opera, kapan rekoleksi bulanan, mengapa patung Paulus di depan kapel nggak estetis sama sekali bahkan bentukan wajah Paulus lebih kacau daripada kapal pecah, dan beberapa percakapan yang pernah terjadi di beberapa titik seminari.

Sekalipun hari itu aku merasa aneh dan lelah sekali dan ingin segera pulang, tapi gerbang ruang tamu seminari yang ku lewati seakan berkata,
"Kamu boleh lupa padaku, tapi kamu nggak bisa melupakan aku. So, forget me not."


*sebelum menulis ini pun aku masih mencari kopian skripsiku tentang seminari ini.
*hal semacam ini pasti bukan cuma aku yang merasakannya. Mungkin pengalaman yang lain beda, misalnya balikan sama mantan atau kuliah untuk kali kedua di kampus yang sama. Aku nggak pernah balikan sama mantan dan jadi mahasiswa untuk kali kedua di kampus yang sama nggak sehampa ini.
*aku nggak ada maksud ngasih review negatif ke seminari yhaaa~

Comments

Popular Posts