Analisis Robohnya Surau Kami
Ini adalah tugas UTS Pengantar Ilmu Sastra-ku. Disuruh nentuin cerpen Robohnya Surau Kami karya A.A. Navis itu termasuk jenis fiksi apa. Aku 'kan bukan ahli sastra, hanya mencoba menjawab dengan teori yang ada. Tapi boleh lho jadi referensi atau ada yang punya pendapat lain. Hahaha.. Ini diaaa...
Setelah saya membaca cerpen A. A. Navis berjudul Robohnya Surau Kami, saya menarik kesimpulan bahwa cerpen tersebut termasuk dalam fiksi romantis. Fiksi romantis menggambarkan hidup sebagai pergulatan antara emosi individu dengan kekuatan alam, termasuk juga emosi orang lain. Dalam cerpen itu, aspek emosional tokoh Aku dan Kakek sangat kuat. Emosi individu dengan kekuatan alam, yaitu emosi keprihatinan si Aku dengan keadaan surau di kampungnya sekaligus kemarahan si Aku pada warga kampung yang terdapat dalam kutipan seperti ini: “Jika Tuan datang sekarang, hanya akan menjumpai gambaran yang mengesankan suatu kesucian yang bakal roboh. Dan kerobohan itu kian hari kian cepat berlangsungnya. Secepat anak-anak berlari di dalamnya, secepat perempuan mencopoti pekayuannya. Dan yang terutama ialah sifat masa bodoh manusia sekarang, yang tak hendak memelihara apa yang tidak di jaga lagi.”. Kekuatan alam yang dimaksudkan dalam cerpen ini adalah keadaan surau yang semakin memburuk dan disalahgunakan karena Kakek yang bertindak sebagai garin sudah meninggal sehingga tidak ada lagi penjaga surau itu.
Emosi orang lain digambarkan dengan pikiran dan perasaan hati Kakek yang lebih dikenal sebagai pengasah pisau daripada garin. Tentu Kakek merasa kurang dihormati karena ia lebih menyukai profesinya sebagai penjaga surau. Selain itu, kemarahan Kakek terhadap cerita Ajo Sidi yang menyindir bahkan menghina dirinya seperti dalam kutipan kata-kata Kakek: “... Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk. Umpan neraka. Marahkah Tuhan kalau itu yang kulakukan, sangkamu? Akan dikutukinya aku kalau selama hidupku aku mengabdi kepada-Nya? Tak kupikirkan hari esokku, karena aku yakin Tuhan itu ada dan pengasih dan penyayang kepada umatnya yang tawakal. Aku bangun pagi-pagi. Aku bersuci. Aku pukul beduk membangunkan manusia dari tidurnya, supaya bersujud kepada-Nya. Aku sembahyang setiap waktu. Aku puji-puji Dia. Aku baca Kitab-Nya... Apa salahnya pekerjaanku itu? Tapi kini aku dikatakan manusia terkutuk.". Dari kutipan ini tentu dapat dipahami bahwa Kakek amat marah dan tersinggung padahal ia merasa bahwa pekerjaannya benar dan baik di mata Tuhan.
Eskapisme romantis memiliki tujuan akhir yaitu mencari dan menciptakan jenis dunia baru yang mengagungkan alam, emosi, dan individualisme. Oleh karena itu, fiksi romantis kerap mengambil latar masa yang sudah lewat, tempat yang tidak biasa atau diluar jangkauan, atau wilayah rekaan yang lokasi sebenarnya tidak jelas. Pada bagian awal cerpen ini, alurnya maju karena si Aku menceritakan keadaan surau sekarang setelah Kakek yang menjaga surau meninggal. Lalu memasuki inti cerita, alur menjadi mundur yang ditandai dengan pertemuan si Aku dengan Kakek sampai akhirnya Kakek meninggal. Jadi cerpen ini seperti flashback yang menceritakan sejarahnya bagaimana surau di kampung itu bisa 'roboh'.
Lokasi yang disebutkan si Aku dalam cerpen ini juga tidak jelas. Sepertinya penulis memiliki bayangan sendiri tentang kampung tempat surau itu berada, dan tidak menyertakan nama kampung atau di kota mana latar lokasi cerpen ini, seperti dalam kutipan berikut ini: “Kalau beberapa tahun yang lalu Tuan datang ke kota kelahiranku dengan menumpang bis, Tuan akan berhenti di dekat pasar. Maka kira-kira sekilometer dari pasar akan sampailah Tuan di jalan kampungku. Pada simpang kecil ke kanan, simpang yang kelima, membeloklah ke jalan sempit itu. Dan di ujung jalan nanti akan Tuan temui sebuah surau tua. Di depannya ada kolam ikan, yang airnya mengalir melalui empat buah pancuran mandi.”. Penulis tidak menuliskan nama kampungnya, nama kota kelahirannya, dan bahkan nama suraunya. Dapat saya pahami bahwa lokasi ini memang wilayah rekaan penulis yang lokasi sebenarnya tidak jelas, atau memang tidak ada sama sekali.
Tokoh-tokoh utama dalam fiksi romantis biasanya terisolasi secara emosional maupun fisik dan dikendalikan oleh cinta yang obsesif, kebencian, pemberontakan, dan rasa takut (proses ini kerap kali berakhir dengan bencana). Tokoh utama dalam cerpen ini adalah Kakek. Emosi Kakek terhadap keluarga dan dirinya sendiri terisolasi oleh perasaan cinta pada profesinya seperti dalam kutipan ini: “Sedari muda aku di sini, bukan? Tak kuingat punya isteri, punya anak, punya keluarga seperti orang lain, tahu? Tak kupikirkan hidupku sendiri”. Namun itu dikendalikan oleh cinta terhadap surau, terhadap profesinya, dan cinta yang semata-mata untuk Tuhan. Kakek tidak berusaha membuat sesuatu untuk keluarganya, seperti dalam kutipan ini: “... Aku tak ingin cari kaya, bikin rumah.” Akhir dari cerita ini memang bencana karena Kakek ditemukan tewas dengan cara yang mengerikan, yaitu dengan leher yang tergoroh.
Seorang pengarang romantis bebas untuk mendistorsi dan mewarnai realitas, bebas untuk memilih dan menyusun apa saja, bebas menyodorkan berbagai kejadian, baik yang mungkin atau tidak mungkin, dan bebas membuat potret emosional nan berpendar warna, jauh dari segala yang aktual. Dunia yang diciptakan oleh seorang pengarang romantis harus tampak 'nyata' sehingga diyakini pembaca. Penulis yaitu A.A. Navis sudah membuktikannya. Ia dengan bebasnya mendeskripsikan kampung yang tak bernama, surau yang disalahgunakan, Kakek garin yang hidupnya terlalu memikirkan Tuhan dan surau, Ajo Sidi dan bualannya yang berani, sampai cara kematian Kakek yang mengenaskan. Saya rasa kejadian seperti itu jarang terjadi. Penulis sudah menggunakan imajinasi dan kreativitasnya sedemikian rupa sehingga tercipta kejadian-kejadian tersebut yang nampaknya pernah atau mungkin akan terjadi.
Selain termasuk jenis fiksi romantis, saya menemukan bagian satir pada bualan Ajo Sidi pada Kakek. Satir berusaha menggambarkan kesenjangan yang terjadi di antara kepalsuan manusia atau institusi dengan kekuatan sejati yang lahir dari dalam. Satir menggambarkan berbagai kesenjangan tersebut dengan lagak penuh guyonan. Bualan Ajo Sidi tentang Haji Saleh yang hidup mementingkan rohani saja dan yakin akan masuk surga, tapi ia malah masuk neraka adalah 'sentilan' bagi Kakek. Haji Saleh dan Kakek memiliki kesamaan yaitu terlalu cinta pada Tuhan sehingga melupakan sekitarnya. Kakek juga yakin akan masuk surga karena menganggap apa yang ia lakukan benar. Bualan Ajo Sidi yang berani namun benar itulah yang memenuhi syarat satir yaitu dapat bermaksud serius sehingga sering disebut 'vitriolist', 'pahit', atau 'sardonis'.
Dari analisis yang saya lakukan, maka saya menyimpulkan bahwa cerpen Robohnya Surau Kami termasuk fiksi romantis karena aspek emosionalnya dominan dan fiksi ini dapat terlihat nyata sehingga membuat pembaca percaya. Selain itu saya juga menyimpulkan bahwa dalam cerpen ini terdapat unsur fiksi satir pada inti cerita, yaitu bualan Ajo Sidi yang menyindir Kakek, atau bahkan pembaca lain yang cara hidupnya seperti Haji Saleh dalam bualannya.

Comments